September 03, 2007

New Students and a New Teacher

Salah alamat, mungkin itu kesan tersembunyi di balik keheranan keluarga, tetangga dan teman-teman kuliahku dulu ketika mengetahui bahwa sekarang aku bekerja sebagai seorang guru SD. Setelah menyebutkan nama sekolah Lazuardi Global Islamic School barulah mereka sedikit mengalihkan keheranan menjadi beberapa pertanyaan seputar nama sekolah ‘yang lain daripada yang lain’ ini. Berlatar belakang pendidikan sosial ekonomi pertanian tentu sangat minim dan mungkin hampir tidak pernah dibekali dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar untuk sekolah SD selama kuliah. Meskipun sebenarnya pada zaman sekarang ini sudah tidak aneh seorang sarjana berkarir pada bidang yang tidak selalu sesuai dengan latar belakang pendidikannya di PT. Banyak teman saya yang sebenarnya mendukung saya untuk menjadi seorang pendidik. Mereka mengatakan bahwa saya cocok berkarir di bidang pendidikan. Selama kuliah saya memang aktif menjadi asisten dosen untuk dua mata kuliah dan mengajar di lembaga pendidikan informal bimbingan belajar (bimbel) dan privat ke rumah untuk anak-anak SMP dan SMU. Semua pengalaman ini tentu sangat berbeda dengan apa yang saya geluti sekarang ini.

Sama dengan penilaian beberapa orang yang dekat terhadapku, aku sendiripun yakin bahwa aku punya bakat untuk menjadi seorang pendidik walaupun keyakinan mereka tidak sekuat keyakinan dalam diriku. Keinginanku memang kelak bisa menjadi pendidik di PT (Dosen). Allah SWT berkehendak lain, untuk menjadi pendidik memang banyak caranya. Yah, menjadi guru. Tetapi di sisi lain, ada sedikit keraguan karena aku berfikir ini artinya aku harus mulai dari nol. Sebenarnya salah satu hal yang membangun ketertarikan saya menjadi guru adalah melihat perkembangan yang terjadi pada dunia pendidikan yaitu munculnya sekolah-sekolah yang berlabel plus nasional dan internasional di negara ini. Jadi saya berfikir bisa mencoba menjadi guru di sekolah yang mengarah pada penerapan konsep-konsep pendidikan dan model sekolah mutakhir. Itulah yang kemudian menjadi harapan saya ketika memulai karir menjadi guru di sekolah dengan label ‘global Islamic school’ ini.
Setelah melalui beberapa tahapan seleksi akhirnya akupun diterima menjadi karyawan training di Lazuardi. Proses berlangsung begitu cepat dan tahapan yang paling berkesan adalah pada saat micro teaching. Selesai melakukan micro teaching dengan hasil yang saya rasakan kurang maksimal, saya melanjutkan wawancara dengan principal. Wawancara berlangsung begitu singkat. Dua kesimpulan wawancara yang saya dapatkan adalah, pertama bahwa metode yang saya pakai saat micro teaching semuanya masih metode konvensional. Kedua, saya dipastikan lolos tes dengan pertimbangan tidak ada permasalahan dengan anak-anak (harus menyenangi anak-anak). Akupun mengiyakannya dengan pemahamanku sendiri.
Pada saat saya menjadi karyawan training saya mengikuti program magang di beberapa kelas, yaitu kelas Malaysia (grade 2), kelas Thailand (grade 3), kelas Peru (grade 4), dan Kelas Marocco (grade 5) masing-masing selama kurang lebih tiga hari. Hasil pengamatan selama itu mengantarkan saya pada kecenderungan lebih tertarik mengajar di kelas yang lebih tinggi disbanding kelas rendah. Saya melihat penanganan anak-anak kelas tinggi relative lebih mudah karena lebih leluasa dalam penggunaan bahasa serta tingkat kemandirian yang sudah lebih baik. Ini tentunya disandarkan pada kapasitas saya sebagai orang yang masih baru.
Kenyataannya, pada tahun ajaran baru saya ditempatkan menjadi guru untuk grade 1 dengan mata ajaran Mathematics dan Social Stidies. Saya sempat kaget ketika mendengarkan pengumumannya. Kenapa tidak, ini merupakan pengalaman yang benar-benar baru bagiku. Begitupun selama saya magang, saya tidak pernah ditempatkan untuk mendampingi anak-anak grade 1. Tetapi dalam benakku berkata That’s OK, It is my Commitment. Sedikit aku bisa mengandalkan pengalamanku membimbing anak-anak dalam praktek lapangan (Kuliah Kerja Nyata) saat masih kuliah. Meskipun saya yakin ini sangat berbeda.
Libur akhir tahun, setelah mengikuti raker dan pembinaan, saya pun mencoba untuk terus mempelajari konsep-konsep belajar mengajar yang baik termasuk metode-metode pendekatan terhadap anak. Materi-materi pembinaan saya buka kembali dan juga membaca buku-buku yang berkaitan dengan itu, seperti Quantum Learning, Teaching First Grade (A Practical Guide) dan yang lainnya. Hasilnya, saya merasa lebih percaya diri dan siap untuk menjadi guru di Lazuardi.
Akhirnya, hari pertama masuk sekolah pun telah tiba. Acara penyambutan dan aktifitas di hari pertama itu hampir seluruh skenarionya saya serahkan kepada guru senior (guru satu). Hari itu saya mencoba untuk sibuk mendampingi anak-anak sambil sering kali memandangi mereka satu-satu. Sebagai hari pertama saya melihat pada wajah-wajah mereka tersirat keceriaan, tetapi yang pasti mereka masih sangat polos, imut, lucu dan menggemaskan. Para orang tua diperbolehkan melihat keceriaan anak-anaknya di hari pertama itu. Saya sempat berpikir bagaimana para orang tua yang sangat sayang pada anak-anaknya itu mempercayakan anak-anaknya itu kepada para guru dan juga kepada saya.
Hari, minggu dan bulan pun berlalu sampai kini saya hampir satu semester menjadi guru di Lazuardi. Memang belum lama, tetapi pengalaman itu telah kulalui dan sering kali ingin menuangkan semuanya dalam catatan harianku meskipun itu tidak mungkin. Sangat berbeda dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Menjadi guru untuk anak-anak kelas satu yang notabene baru selesai pendidikan TK tidak bisa dianggap sepele. Tidak bermaksud untuk mengatakan sulit, tetapi mereka memang berbeda dan unik.
Awalnya, saya sangat yakin bahwa saya bisa bekerja dengan mudah dan baik, every thing will be going on. Saya adalah ‘guru’ bagi mereka. Mereka akan ‘takluk’ dengan metode-metode pembelajaran yang fun dan beragam. Sebagai guru matematika saya akan mencoba membuat mereka tidak merasa belajar matematika tapi bermain matematika, begitu juga pelajaran social studies.
Pada bulan pertama, masalah-masalah yang dihadapi relatif kecil. Maklum, ini baru awal sekolah bagi mereka, masih malu-malu dan cenderung tergantung pada guru. Bulan kedua dan ketiga saya rasakan sebagai masa sulit. Pada saat ini hampir semua anak menunjukkan kebolehannya. Saya lihat itu bukan sebuah proses adaptasi karena saya yakin masa itu telah selesai pada bulan pertama. Tidak salah ketika pertanyaan retoris diajukan kepada saya pada saat persetujuan kontrak kerja : Bagaimana? Sudah mulai pusing dengan anak-anak? Bahkan sebelumnya saya sempat berpikir dua kali apakah saya akan meneruskan kontrak ini. Bukan karena tidak sanggup menjalankan tugas sebagai guru, tetapi saya harus berpikir keras bergulat dengan permasalahan anak-anak yang tidak hanya sebatas permasalahan akademik. Ini berbeda dari apa yang saya bayangkan sebelumnya.
Saya tidak terlalu bermasalah dalam hal pembimbingan secara akademik. Artinya, saya memang tertantang untuk terus belajar menemukan metode-metode pembelajaran yang efektif dan saya tertarik untuk itu. Anak-anak yang kuhadapi memang sangat beragam, baik dari segi kemampuan dasar (inteligensi) yang mereka miliki maupun kondisi emosi mereka. Tetapi sekali lagi ini adalah tantangan menarik bagi saya dan saya banyak belajar dari mereka. Bahkan keberadaan mereka semakin mengukuhkan keyakinanku akan konsep-konsep MultipleIntelligences, Learning Styles, Quantum Learning and Teaching, Active Learning, Contextual Learning dan konsep-konsep mutakhir lain dalam bidang pendidikan.
Setiap anak memang berbeda, satu hal yang menumbuhkan kekagumanku akan kebesaran Sang Pencipta. Terlebih-lebih dengan adanya anak special needs (SN) karena memang Lazuardi telah berusaha untuk menjadi model sekolah inklusi. Jadi keberagaman di kelas ditunjukkan dengan adanya anak SN (autis), slow learner, ADHD (hyperactive) dan yang gifted. Bisa dibayangkan bagaimana mereka bisa efektif belajar secara bersamaan baik secara klasikal atau dengan permaianan (game).
Kesulitan yang terjadi pada bulan kedua dan ketiga sebenarnya adalah munculnya berbagai permasalahan sikap pada anak-anak. Sikap agresif………………… Ulah beberapa anak ini kadang-kadang sangat mengganggu ketenangan kelas. Saya harus lebih banyak bersabar dan mengontrol emosi saya sendiri, sebab saya merasakan kalau saya tidak bisa mengontrol diri akan lebih memperparah suasana.
Contoh kecil dari kasus yang terjadi adalah ketika saya mengajarkan matematika konsep penjumlahan dengan menggunakan alat bantu berupa guntingan gambar kuda-kudaan berwarna-warni dan ditempel di papan. Tiba-tiba seorang anak yang berinisial N mengeluarkan pernyataan bahwa dia suka kuda yang berwarna merah dan itu kudanya. Awalnya, saya beranggapan bahwa itulah karakter anak-anak dan saya senang ternyata mereka tertarik melihat gambar yang saya buat. Setelah anak N mengeluarkan pernyataan, spontan seorang anak yang lain ternyata mengungkapkan pernyataan yang sama, ya dia suka kuda warna merah. Di luar dugaanku, ternyata perdebatan di antara mereka dan kemudian diikuti hampir separuh dari anak-anak di kelas tentang kuda kesukaan dan kepemilikan jadi berlanjut. Saya berusaha untuk memberikan pemahaman bahwa kuda-kuda itu saya buatkan untuk mereka semua, untuk semua anak Picasso. Ternyata adu mulut bukannya berhenti bahkan berlanjut dengan adu fisik dan lempar-lempar alat tulis. Beberapa anak keemudian terpaksa saya bawa ke cooling down room (silent room).
Berhadapan dengan kasus-kasus seperti ini, kadang saya berpikir apakah ini menunjukkan ketidakmampuan saya dalam memanajemen anak-anak. Tetapi ternyata masalah serupa dalam bentuk yang berbeda dialami juga oleh guru-guru yang lain yang mengajar di kelas ini. Tidak salah kalau beberapa guru sempat melabel kelas Picasso sebagai kelas anak-anak SN.
Hal yang bisa saya lakukan adalah berusaha untuk terus mengedalikan diri dan pelan-pelan menghadapi kasus perkasus. Disiplin positif harus terus dipelihara meskipun kadang-kadang membuat saya bingung untuk bertindak. Saling tuduh menuduh di antara anak pun kerap sekali terjadi dengan mencap temannya nakal, jahat atau bandel. Satu lagi yang perlu saya lakukan yaitu untuk meyakinkan diriku dan anak-anakku bahwa tidak ada anak yang nakal. Ini yang pernah diungkapkan Pak Haidar Bagir (Ketua Yayasan Pendiri Sekolah) bahwa tidak ada anak yang nakal. Setiap anak adalah bintang, ketika anak bertindak yang ‘aneh-aneh’ sebenarnya ia ingin berkata kepada guru : kalau ingin mendidikku ikuti caraku. Sungguh memang perkataan yang bijak meskipun kadang berat menjalankannya.Alhamdulillah, pada bulan keempat sampai sekarang mendekati akhir semester hampir seluruh masalah-masalah yang dihadapi pada bulan-bulan sebelumnya telah berakhir. Sebenarnya, anak-anak telah memberikan kepada kami para guru kelas sebuah hadiah yang sangat berharga. Saya tertantang untuk menemukan strategi-strategi mendidik yang sangat beragam meskipun saya akui itu hanya sebatas trial and error. Perjuangan yang kami lakukan untuk ‘menaklukkan’ mereka cukup memakan waktu dan energi. Selama dua bulan masa krisis tesebut hampir setiap hari setelah anak-anak pulang sekolah tidak lepas dari pembahasan seputar permasalahan sikap anak-anak. Mereka memberikan kami banyak inspirasi untuk mendapatkan keterampilan mendidik anak-anak seperti mereka. Anak-anak belia yang terlahir di era yang semakin ‘canggih’ ini.