March 29, 2008

The Phenomenal Movie : Ayat Ayat Cinta


Kemunculan film “Ayat Ayat Cinta” telah mampu menghipnotis masyarakat Indonesia. Sejak dirilis, jumlah penontonnya sudah lebih dari 3 juta orang dalam kurun waktu kurang dari sebulan dan telah terjual lebih dari 1 juta kopi. Penontonnya pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat lapisan bawah yang sebelumnya tidak pernah ke bioskop sampai pada para pejabat papan atas negeri, termasuk presiden dan wakil presiden. Ini telah mampu memecahkan rekor yang ada sebelumnya.

Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini memang cukup unik dan khas, seperti juga novelnya yang cukup fenomenal, Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Novel yang masuk dalm kategori national best sellers dengan angka penjualan lebih dari 500 ribu dengan keuntungan milliaran. Saya sendiri sudah lebih dulu membaca novelnya dan kemudian menonton filmnya. Dan apa yang ditayangkan memang tidak sepenuhnya merepresentasikan kandungan novelnya. Sebuah kisah yang bergenre religius dan romance. Religiusitas dan romantisme ternyata merupakan perpaduan yang cukup menarik untuk dikemas menjadi hiburan berbentuk novel atau film. Tidak heran, kalau kini banyak bermunculan turunan buku sejenis oleh penulis yang sama atau penulis lainnya dan kemungkinan besar akan difilmkan juga.

Pada dasarnya saya sangat mengapresiasi film tersebut dan saya tidak memiliki kapasitas untuk mengkritisi eksistensi film tersebut jika ditinjau dari sudut pandang dunia perfilman. Tapi sebagai seorang pendidik, bagi saya film hendaknya tidak sebatas tontonan tetapi juga tuntunan. Seperti halnya mengajar, materi ajar harus berdasarkan kebutuhan peserta didik. Dan, proses belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik menunjukkan penambahan pengetahuan (knowledge), perbaikan sikap (attitude) dan peningkatan keterampilan (skill). Mungkin, saya terlalu berharap lebih akan kehadiran film Ayat Ayat Cinta atau yang satu genre dengan itu untuk mampu mengkondisikan masyarakat Indonesia yang cukup haus dengan nilai-nilai spritual. Sebuah kebutuhan dasar yang telah menjadi fitrah diciptakannya manusia.

Saya berpikir, mungkin animo terhadap film Ayat Ayat Cinta merupakan bentuk pelarian masyarakat yang selama ini dicekoki dengan hiburan-hiburan yang miskin spritualitas dan dengan alur cerita yang monoton. Hal ini mengingatkan saya pada kisah sukses ustadz Aa Gym (Abdullah Gymnastiar) yang cukup digandrungi masyarakat dari berbagai kalangan pada zamannya. Seseorang yang katanya mampu membawa angin sejuk di tengah hiruk pikuk bangsa ini dengan segala permasalahannya.

Tapi, jika kita reflesikan kondisi masyarakat kita sekarang ini, terutama kita dan saudara-saudara yang sesama muslim. Sejauh mana momen-momen tersebut mampu memberikan efek perubahan pada tataran knowledge (pengetahuan agama), attitude (akhlak) atau skill (ibadah ritual). Ayat Ayat Cinta, baik penulis novel, sutradara dan produser film serta aktor dan aktrisnya dengan kadar yang berbeda-beda menempatkan film ini sebagai kesempatam untuk sarana dakwah. Wallahu a’lam bi shawab. Sekali lagi saya salut dengan kerja mereka dan mungkin itu bisa terbayar dengan pendapatan, royalti atau apalah namanya. Sebuah keniscayaan. Lalu, setelah film selesai ditonton, apa yang didapatkan masyarakat? Hanya semata-mata tontonan, hiburan sesaat? Tontonan bukan tuntunan? Manakah yang paling berkesan dan dielu-elukan, para pemainnya (Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Melanie Putria, Zaskia Adya Mecca), sutradara (Hanung Bramantyo), produser (Manoj Punjaby/MD Pictures), penulis (Habiburrahman El Shirazy), atau penyanyi soundtrack-nya (Rossa).

Bagaimana dengan pesan moral/hikmah atau ajaran/tuntunan yang disampaikan? Apakah terlupakan dalam sekejap? Contohnya, apakah film tersebut mampu memberikan pencerahan betapa bangganya hidup dalam tuntunan agama Allah, bahwa Islam merupakan agama yang toleran bukan teroris, bahwa poligami itu juga ajaran Islam bukan dosa, bahwa Islam tidak mengenal pacaran tapi ta’aruf, bahwa pakaian lebar/jilbab bagi wanita muslim merupakan pembeda dan wajib hukumnya, betapa dalamnya makna cinta dan lain sebagainya. Kalau ini sampai terlupakan dan tidak memberikan efek yang sama luar biasanya dengan animo untuk menonton filmnya, maka barangkali film tersebut belum sesuai dengan kebutuhan mendasar untuk perubahan masyarakat/negara kita ke arah yang lebih baik dan benar. Atau mungkin metode-metode yang populer itu, seperti halnya juga yang dilakukan Aa Gym, belum cukup untuk melakukan sebuah revolusi akhlak bagi masyarakat kita. Hanya waktu yang bisa menjawab...!
By : Binsan Siregar (Cinere, Maret 2008)

March 20, 2008

Rain City : Love in The Light of Love (Cerpen)

Di kota ini terlalu banyak kenangan. Menelusuri lorong demi lorong mengingatkan aku akan sejuta makna yang terukir di setiap rupa dan ruang. Bangunan-bangunannya masih bersahaja meskipun kini pembangunan pusat-pusat bisnis dan belanja mulai menjamur. Sebuah kota kecilpun semakin berwarna. Pepohonan yang rindang, kebun raya yang sejuk, tugu kujang di pusaran kota dan dan kampus hijau yang menjanjikan cukup lekat dalam ingatanku. Begitu juga dengan deretan angkutan kota (angkot), becak dayung, pedati dan odong-odong, pedagang asongan yang ramai, sampai pengemis dan anak jalanan di perempatan lampu merah. Semuanya menjadi saksi bisu satu episode kehidupan yang kulalui disini. Dulu, pada saat awal aku hijrah dari kota ini terasa cukup berat. Paling tidak sekali seminggu masih kusempatkan bertandang kesini. Sekedar untuk mencicipi asinan dan berbagai macam makanan gorengan, bercengkrama dengan teman-teman lama saat kuliah atau menghirup udara segar yang sangat sulit kudapatkan di Jakarta, tempat aku kini menetap entah sampai kapan. Untungnya aku tidak meninggalkan kota ini terlalu jauh sehingga aku masih bisa sesekali kesini saat kerinduan itu memuncak. Bogor, si kota hujan?


Bagiku, menjalani hidup sebagai perantau memang tidaklah mudah. Perlu kesiapan untuk menghadapi berbagai misteri di tengah-tengah perjuangan untuk sekedar bertahan hidup atau bahkan tampil jadi pemenang. Akan tetapi, kejelian menangkap pesan di balik warna-warninya dapat memberikan makna tersendiri. Sebelumnya, saya tidak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki di kota Bogor ini, kota yang jauh dari tanah kelahiranku di bagian utara pulau Sumatera, tempat tinggal orang tua, kakak dan adik-adikku. Keinginan untuk berpetualang dan menyongsong masa depan ternyata mengantarkanku kesini walaupun akhirnya semua ambisi itu melebur dalam pertarungan untuk sebuah idealisme. Dan sebuah cerita dengan tinta emaspun tergores di tepian jalan yang mungkin masih panjang untuk dilalui.

Study oriented. Mungkin itulah idealisme yang kutanamkan ketika sampai di kota hujan ini. Sebuah idealisme yang telah lama ada sejak aku belajar memahami kehidupan, belajar menerima keadan yang tidak seberuntung orang kebanyakan. Kuliah di kampus, berkutat dengan buku-buku dan materi kuliah, belajar dan belajar. Hanya demi mengubah nasib. Sebuah keyakinan yang akhirnya kusadari sebagai sesuatu yang berlebihan. Sewaktu kuliah, aku bukanlah mahasiswa yang punya cukup uang untuk menggandrungi trend telepon genggam (hand phone) yang sedang booming atau sekedar mencicipi dunia maya di warung-warung internet (warnet), juga bukan tipe mahasiswa yang punya waktu lebih untuk hang out di cafe-cafe atau di bawah pohon rindang (dpr) atau mengikuti jejak para aktifis kampus yang senang melakukan aksi. Di kampusku, khususnya Fakultas Pertanian, barangkali akulah mahasiwa yang paling sederhana dan serius, kampungan, sedikit kuper dan yang pasti termasuk gaptek. Untungnya, pengalaman hidup telah mengajarkanku untuk tidak menjadikannya beban. Tapi sebagai nyala api yang membakar semangat untuk meraih asa, mengubah nasib.

Memang hasilnya tidak mengecewakan. Prestasi akademik yang kucapai cukup membanggakan dan sering mengundang decak kagum teman-teman. Dalam hal belajar akulah bintangnya. Bahkan julukan sebagai ”Pak Dosen” sempat kudapatkan. Aku senang bisa menjadi guru bagi mereka dan selalu diperebutkan di setiap pengerjaan tugas-tugas berkelompok. Berbagai beasiswa prestasi dari yayasan, perusahaan swasta atau instansi pemerintah pun dengan mudah bisa kudapatkan. Di kampus aku merasa begitu sangat beruntung dan hampir sempurna.

Tahun ketiga kuliah di Bogor memberikan warna tersendiri. Kedekatanku dengan seorang teman perempuan yang masih satu fakultas mengisi sebagian dari perjalanan waktuku. Hubungan spesial terjalin. Sebuah perubahan tampak sekali dalam pola kehidupanku sebelumnya. Uang yang nota bene kudapatkan dari beasiswa terasa cukup memakmurkanku, waktu yang selama ini ketat mengkrangkeng menemukan luangnya, sementara itu pencapaian akademik masih saja bertahta. Aku jadi berpikir tidak berbeda dengan teman-teman lainnya, baik mereka yang borjuis, aktifis, apalagi mereka yang akademis. Bahkan aku merasa pola hidupku menjadi satu tingkat di atas mereka. Kesempurnaan untuk seorang perantau, anak petani miskin dari sebuah desa di ujung Sumatera.

Tapi cerita itu berlangsung hanya satu tahun. Kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan tanpa ada alasan yang jelas. Hanya sedikit yang bisa kutangkap dari pesan tersembunyi di pertemuan-pertemuan terakhir kami. Dia menginginkan aku kembali seperti dulu. Seorang yang pembelajar, sederhana dan jauh dari gaya hidup pergaulan teman-teman di kampus. Aku masih mengingat kata-katanya yang membuatku sedikit tersinggung. ”Ihsan, ... maafkan aku, aku perlu banyak belajar, belajar untuk mengenal kehidupan dan belajar untuk mencintai. Kamu terlalu sempurna untukku. Sebenarnya aku menerima kamu apa adanya. Kamu tidak bersalah tapi akulah yang bersalah. Aku mengorbankanmu untuk belajar arti cinta yang selama ini tiada kupahami. Dan, semoga apa yang telah berlalu di antara kita menjadi saksi setetes cerita cinta itu...”. Inilah beberapa kata-kata terakhirnya yang masih tersimpan dalam rekaman ingatanku meski dulu sangat sulit kupahami.

Karimah, kecantikannya mungkin tersembunyi dan hanya aku yang tahu. Aku lebih senang memanggilnya Imah. Imah, yang dalam bahasa orang Bogor (sunda) berarti rumah. Seorang perempuan yang bersahaja dan pandai merangkai kata-kata, cukup bijak untuk seusianya, keibuan dan perhatian. Kehadirannya sering mengobati kerinduanku akan keluarga di kampung. Dia bisa menjadi teman ketika kesepian dan kehampaan menghampiri. Aku selalu mencoba memahaminya lewat kenangan bersama yang lebih banyak dihabiskan untuk mengikuti berbagai kegiatan bakti sosial dengan teman-teman mahasiswa. Mendampingi anak-anak jalanan, mengunjungi panti sosial, jalan-jalan di pasar tradisional atau di pemukiman penduduk miskin yang padat dan kumuh. Selebihnya, mengunjungi pameran-pameran tanaman dan pertanian atau tempat-tempat wisata alam yang banyak terdapat di Bogor. Itu pun kalau biayanya murah dan anggaran bulanan mencukupi.

Kini, aku mencoba melupakan semua kenangan bersamanya, meski itu sulit. Keputusannya untuk mengakhiri hubungan kami yang akhirnya kuamini cukup meninggalkan luka. Apa yang selama ini kuanggap bisa menyempurnakan hidupku telah hilang. Tapi kesinggahannya dalam pelabuhan hatiku telah menggoreskan bekas yang mendalam. Bekas yang kemudian mengubah sosokku menjadi pribadi yang sangat mengebu-gebu, seperti orang yang kesurupan sepanjang waktu. Dia menjadi sosok yang seolah datang membangunkan mimpi panjangku dan pergi begitu saja entah kemana. Sakit hati, kekecewaan, kesendirian, trauma dan ambisi kuracik menjadi mesin yang menjalankan roda kehidupanku. Haruskah aku mengubur segudang asa. Asa yang telah tertanam di perut bumi dan menggema di langit. Oh Ihsan, tidak mungkin! Kututup luka di hati, kupasangkan topeng di wajah, kuhapus semua kenangan. Kehilangannya tidak menumbuhkan sedikit pun keinginanku untuk mencari perempuan lain yang bisa menggantikannya, meski saya yakin ada kesempatan untuk itu. Bahkan, sifat antipatiku yang tinggi kepada perempuan sempat juga mengundang kecurigaan dari teman-teman.

Satu semester berlalu dan selama itu aku menjajaki kehidupan yang sangat menggebu-gebu. Semangat untuk terus berprestasi dalam belajar, menghadiri berbagai seminar dan mencoba aktif dalam organisasi kemahasiswaan, bahkan mencicipi gaya hidup teman-temanku yang borjuis. Jangankan untuk mengenang perempuan yang pernah berhasil mencuri benih cinta di hatiku, keluarga yang sangat mencintaiku apa adanya di kampung seolah hilang dari ingatanku. Dan, akupun tampil jadi pejuang yang seolah tanpa dosa dan beban. Inilah aku, aku yang tegar, aku yang berdiri di atas kakiku sendiri, aku yang tidak butuh cinta dan rasa, aku yang bisa memahami dan menyempurnakan hidupku. Lihat saja, aku bisa berkelana dari kampung halaman yang jauh hingga ke kota hujan ini, memiliki prestasi yang lebih baik dari anak-anak kota itu, membiayai sendiri sekolahku dan kebutuhan hidup sehari-hari meskipun itu dari beasiswa. Bukankah itu cukup membanggakan. Bukankah itu cukup memuaskan hati orang-orang yang ingin mencintaiku. Lalu siapa yang bisa merampas kebebasanku. Aku ada untuk diriku sendiri.

Akhirnya, aku sampai di ujung waktu, meski bukan akhir dari segalanya. Serempak riuh tepuk tangan lebih dari seribu orang itupun menantikan sosokku tampil di tengah-tengah gedung balairung kampus, tempat upacara wisuda itu dilaksanakan. Seketika itu sejuta rasa langsung menyelimuti. Lega, bangga, senang, terharu dan sedikit grogi. Akhirnya, perjuanganku membuahkan hasil. Saat itu aku meyakini kesempurnaan cinta menjadi milikku. Dan, aku semakin yakin bahwa inilah hasil dari ketegaran dan kekuatan hati yang kumiliki. Bahwa aku bisa memenuhi kekeroposan dan kekurangan yang ada pada diriku. Bahwa aku tidak berbeda dengan mereka semuanya, bahkan lebih baik. Predikat lulus cum laude dan menjadi salah seorang the best graduate mungkin merupakan prestasi yang tidak terbayangkan bagi kebanyakan mahasiswa. Tapi bayangan itu kini menghampiriku. Aku dinobatkan sebagai salah seorang lulusan terbaik di kampusku. Tidak heran, beberapa hari sebelum upacara wisuda dilaksanakan, ada sekitar tiga perusahaan besar nasional yang menghubungiku dan meminta untuk mengirimkan aplikasi. Ihsan... Ihsan! Aku semakin yakin kalau nasibku akan sebagus nama yang kumiliki.

Aku keluar dari gedung graha wisuda itu dengan langkah pasti meski tak berarah. Bagaimana tidak. Di antara seribu lebih mantan mahasiwa itu, akulah salah satu yang keluar dengan nilai lebih. Yah, selembar sertifikat lulusan terbaik yang ditaruh di dalam map kain bercorak batik. Ucapan selamatpun berdatangan dari banyak teman bahkan beberapa dari mereka tak sempat kuperhatikan wajahnya. Tidak henti-hentinya. Kecintaan mereka pasti bertambah luar biasa. Aku merasa menjadi orang yang paling dicintai.

Matahari siang mulai condong ke arah barat. Baju kebesaranku jadi lusuh karena dibasuh keringat di tengah-tengah keramaian itu. Tiba-tiba, suasana berubah sepi. Di kejauhan, kulihat para wisudawan dan wisudawati satu persatu lenyap di tengah himpitan keluarga dan kerabatnya. Sinar mataku padam, tubuhku layu. Kesepian yang teramat sangat. Kesepian dan kehampaan. Topeng di wajahku terbuka dengan sendirinya, tamengku terjatuh lepas dari genggaman. Kepalsuan!

Dua sosok tubuh yang ringkih dan kulit yang sama-sama legam datang meghampiriku. Yang datang dari perjalanan jauh dan baru sampai semalam, belum sempat kuperhatikan mereka secara ditetil. Tapi aku sangat mengenali mereka meskipun keberadaannya cukup jauh berubah. Raut muka yang sudah dipenuhi kerutan, postur tubuh yang mengecil, rambut ayah yang memutih, dan aku yakin itu pula yang terjadi pada ibu dibalik balutan jilbab yang sudah tak jelas warnanya itu. Empat tahun lebih berlalu, tidak ada pertemuan dan hanya dalam hitungan jari berkomunikasi lewat surat dan telepon. Ya Allah, masih kulihat ketegaran dalam tatapan mata mereka, meski tubuh mereka yang telah dimakan usia bersusah payah menopangnya. Air mata mereka mengalir deras, air mata kebahagiaan dan kerinduan. Kesedihan pun kubendung, tubuhku kaku dan mematung dalam pelukan mereka. Entah apa yang bisa kulakukan untuk mengungkapkan perasaanku. Hingga akhirnya aku bisa menarik nafas dalam-dalam, memegangi mereka erat-erat dan lewat pelukanku kuyakinkan mereka betapa aku sangat mencintai mereka.

”Assalamualaikum, bunganya Bu...!” Suara itu datang dari belakangku pada saat ibu sedang bercerita banyak tentang suasana di kampung kini. Aku sudah bisa menebak dan bahkan dapat memastikan bahwa itu adalah salah seorang dari sekian mahasiswi yang sibuk menjajakan bunga di acara wisudaan hari ini, seperti biasanya. Begitu aku melihat ke belakang, jelas saja, seorang perempuan dengan sejambangan bunga potong yang ia jinjing. Tapi, dalam sekejap wajah itu menunduk, ” ma... maaf ya”. Dan kemudian pergi begitu saja.

”Hei, tunggu! I...Imah ya?”, aku berusaha menghentikan langkahnya sambil meyakinkan hasil identifikasiku atas perempuan itu. Dan akhirnya berhasil. Hampir saja aku tidak bisa mengenalnya karena tidak memiliki waktu untuk menatapnya lebih lama. Tapi kemudian aku bisa memastikan karena dia adalah perempuan yang pernah kukenal cukup jauh. Penampilannya telah berubah. Dia memakai jilbab lebar dan baju longgar yang panjang. Aku cukup mengerti dengan perempuan yang berpakaian seperti itu dan akupun tidak berani lagi mengangsurkan tangan untuk menjabatnya. ”Jaga hati dan jaga pandangan”. Sebuah istilah yang sering kudengar dalam adab pergaulan lawan jenis dari teman-teman yang aktif di organisasi mahasiwa Islam di kampus.

Aku bisa menangkap bahwa ada keyakinan dan ideologi mendalam di balik perubahannya, tidak ada kepalsuan. Ego, kecanggungan dan ketakjuban tiba-tiba melebur saat untaian kata-kata keluar dari mulutnya. ”Assalamu’alaikum! Selamat ya, sudah jadi sarjana dan menurut informasi yang kudengar, anta... eh kamu juga berprestasi. Sebelumnya aku mohon maaf. Aku tidak bisa berlama-lama denganmu. Aku khawatir ada prasangka lain dari teman-temanku dan aku pun ingin menjaga diriku dan juga dirimu. Aku yakin engkau telah mengerti itu dengan kecerdasanmu. Mengenai aku..., aku belum bisa menyelesaikan studiku tepat waktu. Mungkin itu salahku. Tapi, alhamdulillah, semua bisa kumengerti. Ayahku meninggal enam bulan yang lalu dan aku membawa ibu dan dua orang adikku untuk menetap di Bogor. Aku akan terus mencoba dan menjalaninya dengan baik. Dan, aku akan belajar dari kesuksesan salah seorang saudaraku. Pertahankan prestasimu, jangan pernah berhenti untuk terus belajar, termasuk hakekat cinta dan kehidupan. Bahwa akan selalu ada cahaya dalam setiap kegelapan dan akan selalu ada cinta dalam setiap kehampaan. Aku bukan menggurui lo. Oh ya, mereka ayah dan ibumu ya? Sampaikan permohonan maafku, mungkin tadi sikapku kurang berkenan. Assalamualaikum”.

Kali ini, air mataku tidak terbendung. Sungguh, keteguhannya mengeja detik demi detik perjalanan hidup telah mengantarnya ke pintu hidayah. Tiba-tiba aku sadar bahwa ada kelemahan dalam diriku. Aku enggan memaknai kehidupan ini apa adanya. Seringkali aku menyelimuti diri dengan kepalsuan dan terkungkung dengan ambisi-ambisi keduniawian. Aku selalu menghindar dari segudang pertanyaan-pertanyaan tentang hidupku yang mestinya mampu kujawab, tapi kesibukan dengan kuliah dan mengejar ambisi membuatku tidak sempat memikirkannya.

Dadaku terasa sesak, seakan-akan tergelepar di atas lantai tanpa sajadah. Kucoba mengukir satu persatu kata yang terurai, merangkainya menjadi kalimat dan melantunkannya ke ujung langit. Kesempurnaan manusia adalah sesuatu yang tidak berujung, atau jika berujung maka ujungnya adalah utopia. Cinta adalah fondasi yang menegakkan kehidupan dan cinta itupun tidak ada batasnya, sepenuh langit dan bumi. Kesempurnaan yang abadi dan cinta yang hakiki. Lalu siapa dan apalah aku ini. Aku belum mampu mengenali diriku. Yang kujalani hanya kepalsuan dan kepura-puraan. Aku telah terjebak ke dalam arus ambisi dan dunia yang membuatku terlena. Aku ingin dicinta dan bukan untuk mencintai, sekalipun untuk mencintai diri sendiri. Sehingga cahaya itu seolah sirna di telan kabut, permata itu seolah hanyut disapu ombak.

Oh Tuhan, terima kasih atas benih cinta yang telah Engkau tanamkan. Terima kasih atas tetesan air mata yang telah menambah kesuburan lahan cinta itu. Alhamdulillah, langkah kakiku terasa ringan. Air mata itu telah menyuburkan pepohonan yang meneduhkan perjalananku. Tidak ada penyesalan, apalagi kekecewaan. Sebuah skenario memang harus diperankan. Aku bisa menerima semua kenyataan itu, bahkan harus belajar untuk lebih bersyukur. Di kota hujan ini, benih cinta itu tertanam. Cinta yang kucoba memahaminya dalam maknanya yang hakiki. Bukan semata kecintaan pada keluarga dan kekerabantan, harta dan kekayaan, tahta dan kehormatan, kerja dan perniagaann, wanita dan keindahan, atau ambisi dan segala keinginan.

Wah, sore mulai mendung. Hampir bisa dipastikan hujan akan segera turun. Seperti biasa. Aku harus segera bergegas ke stasiun. Hmm... hari Minggu. Stasiun pasti ramai dan penuh sesak. Tapi tidak apa-apa, aku justru senang dengan keramaian itu. Selamat tinggal kota hujanku, selamat tinggal kota Bogor. Terima kasih telah menerimaku disini. Bahkan, engkau memberiku lebih. Engkau hadiahkan lahan yang lapang dan menanamkan benih-benih cinta padanya. Dan, meski cuaca semakin tidak menentu, benih cinta itu tetap tumbuh. Semoga bisa bertahan dari terpaan angin dan badai, hujan dan banjir, serta panas dan kemarau. Tumbuh berkembang menuju kesempurnaan. Amiin.

By : Binsan Siregar

February 16, 2008

Being a Techer : a Great Choice and a Great Job


In this post, I wanna share you my reflection (not my experience) as a teacher. I have worked as a teacher especially for first grader since 2005 at Lazuardi GIS in Cinere, Depok. I often asked my students whether they wanna be a teacher or not. And, almost no one of them want to be a teacher. But I don’t know exactly why they don’t want to be. When I tried to elicit their reasons or some comments in their chit-chat, It’s so hard for them to give a specific one. After listening to my explanation about working as a teacher then one or two of them express their appreciation for this profession.

In my opinion, being a teacher or an educator is a great choice because most of people don’t want it and not all of people who want it are able to do it. Hmm….complicated! I don’t want to say that it’s not an interesting job or it’s a hard job. But, teacher as an important profession and education as a basic need haven’t got a great appreciation in this nation. I will not talk about that more because it’s so complicated for me. In here, I just want to recognize (to encourage) us as teacher to appreciate our job, we ourselves. First of all, we should thank to God because He has chosen us for this glorious task. By this, we have a great chance to take part in empowering the next generation, developing the new civilization and changing the world. Isn’t it a great job? You have decided to be a teacher and that’s your own choice. Never regret it and give your best job. Imagine, that you are investing a great thing for the future when it is not yours. But, you become an unforgetable man at the time and you are reminded of your merits. Congratulation and have a nice journey in creating a better life.