Kemunculan film “Ayat Ayat Cinta” telah mampu menghipnotis masyarakat Indonesia. Sejak dirilis, jumlah penontonnya sudah lebih dari 3 juta orang dalam kurun waktu kurang dari sebulan dan telah terjual lebih dari 1 juta kopi. Penontonnya pun berasal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat lapisan bawah yang sebelumnya tidak pernah ke bioskop sampai pada para pejabat papan atas negeri, termasuk presiden dan wakil presiden. Ini telah mampu memecahkan rekor yang ada sebelumnya.
Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini memang cukup unik dan khas, seperti juga novelnya yang cukup fenomenal, Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Novel yang masuk dalm kategori national best sellers dengan angka penjualan lebih dari 500 ribu dengan keuntungan milliaran. Saya sendiri sudah lebih dulu membaca novelnya dan kemudian menonton filmnya. Dan apa yang ditayangkan memang tidak sepenuhnya merepresentasikan kandungan novelnya. Sebuah kisah yang bergenre religius dan romance. Religiusitas dan romantisme ternyata merupakan perpaduan yang cukup menarik untuk dikemas menjadi hiburan berbentuk novel atau film. Tidak heran, kalau kini banyak bermunculan turunan buku sejenis oleh penulis yang sama atau penulis lainnya dan kemungkinan besar akan difilmkan juga.
Pada dasarnya saya sangat mengapresiasi film tersebut dan saya tidak memiliki kapasitas untuk mengkritisi eksistensi film tersebut jika ditinjau dari sudut pandang dunia perfilman. Tapi sebagai seorang pendidik, bagi saya film hendaknya tidak sebatas tontonan tetapi juga tuntunan. Seperti halnya mengajar, materi ajar harus berdasarkan kebutuhan peserta didik. Dan, proses belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik menunjukkan penambahan pengetahuan (knowledge), perbaikan sikap (attitude) dan peningkatan keterampilan (skill). Mungkin, saya terlalu berharap lebih akan kehadiran film Ayat Ayat Cinta atau yang satu genre dengan itu untuk mampu mengkondisikan masyarakat Indonesia yang cukup haus dengan nilai-nilai spritual. Sebuah kebutuhan dasar yang telah menjadi fitrah diciptakannya manusia.
Saya berpikir, mungkin animo terhadap film Ayat Ayat Cinta merupakan bentuk pelarian masyarakat yang selama ini dicekoki dengan hiburan-hiburan yang miskin spritualitas dan dengan alur cerita yang monoton. Hal ini mengingatkan saya pada kisah sukses ustadz Aa Gym (Abdullah Gymnastiar) yang cukup digandrungi masyarakat dari berbagai kalangan pada zamannya. Seseorang yang katanya mampu membawa angin sejuk di tengah hiruk pikuk bangsa ini dengan segala permasalahannya.
Tapi, jika kita reflesikan kondisi masyarakat kita sekarang ini, terutama kita dan saudara-saudara yang sesama muslim. Sejauh mana momen-momen tersebut mampu memberikan efek perubahan pada tataran knowledge (pengetahuan agama), attitude (akhlak) atau skill (ibadah ritual). Ayat Ayat Cinta, baik penulis novel, sutradara dan produser film serta aktor dan aktrisnya dengan kadar yang berbeda-beda menempatkan film ini sebagai kesempatam untuk sarana dakwah. Wallahu a’lam bi shawab. Sekali lagi saya salut dengan kerja mereka dan mungkin itu bisa terbayar dengan pendapatan, royalti atau apalah namanya. Sebuah keniscayaan. Lalu, setelah film selesai ditonton, apa yang didapatkan masyarakat? Hanya semata-mata tontonan, hiburan sesaat? Tontonan bukan tuntunan? Manakah yang paling berkesan dan dielu-elukan, para pemainnya (Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Melanie Putria, Zaskia Adya Mecca), sutradara (Hanung Bramantyo), produser (Manoj Punjaby/MD Pictures), penulis (Habiburrahman El Shirazy), atau penyanyi soundtrack-nya (Rossa).
Bagaimana dengan pesan moral/hikmah atau ajaran/tuntunan yang disampaikan? Apakah terlupakan dalam sekejap? Contohnya, apakah film tersebut mampu memberikan pencerahan betapa bangganya hidup dalam tuntunan agama Allah, bahwa Islam merupakan agama yang toleran bukan teroris, bahwa poligami itu juga ajaran Islam bukan dosa, bahwa Islam tidak mengenal pacaran tapi ta’aruf, bahwa pakaian lebar/jilbab bagi wanita muslim merupakan pembeda dan wajib hukumnya, betapa dalamnya makna cinta dan lain sebagainya. Kalau ini sampai terlupakan dan tidak memberikan efek yang sama luar biasanya dengan animo untuk menonton filmnya, maka barangkali film tersebut belum sesuai dengan kebutuhan mendasar untuk perubahan masyarakat/negara kita ke arah yang lebih baik dan benar. Atau mungkin metode-metode yang populer itu, seperti halnya juga yang dilakukan Aa Gym, belum cukup untuk melakukan sebuah revolusi akhlak bagi masyarakat kita. Hanya waktu yang bisa menjawab...!
Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini memang cukup unik dan khas, seperti juga novelnya yang cukup fenomenal, Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Novel yang masuk dalm kategori national best sellers dengan angka penjualan lebih dari 500 ribu dengan keuntungan milliaran. Saya sendiri sudah lebih dulu membaca novelnya dan kemudian menonton filmnya. Dan apa yang ditayangkan memang tidak sepenuhnya merepresentasikan kandungan novelnya. Sebuah kisah yang bergenre religius dan romance. Religiusitas dan romantisme ternyata merupakan perpaduan yang cukup menarik untuk dikemas menjadi hiburan berbentuk novel atau film. Tidak heran, kalau kini banyak bermunculan turunan buku sejenis oleh penulis yang sama atau penulis lainnya dan kemungkinan besar akan difilmkan juga.
Pada dasarnya saya sangat mengapresiasi film tersebut dan saya tidak memiliki kapasitas untuk mengkritisi eksistensi film tersebut jika ditinjau dari sudut pandang dunia perfilman. Tapi sebagai seorang pendidik, bagi saya film hendaknya tidak sebatas tontonan tetapi juga tuntunan. Seperti halnya mengajar, materi ajar harus berdasarkan kebutuhan peserta didik. Dan, proses belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik menunjukkan penambahan pengetahuan (knowledge), perbaikan sikap (attitude) dan peningkatan keterampilan (skill). Mungkin, saya terlalu berharap lebih akan kehadiran film Ayat Ayat Cinta atau yang satu genre dengan itu untuk mampu mengkondisikan masyarakat Indonesia yang cukup haus dengan nilai-nilai spritual. Sebuah kebutuhan dasar yang telah menjadi fitrah diciptakannya manusia.
Saya berpikir, mungkin animo terhadap film Ayat Ayat Cinta merupakan bentuk pelarian masyarakat yang selama ini dicekoki dengan hiburan-hiburan yang miskin spritualitas dan dengan alur cerita yang monoton. Hal ini mengingatkan saya pada kisah sukses ustadz Aa Gym (Abdullah Gymnastiar) yang cukup digandrungi masyarakat dari berbagai kalangan pada zamannya. Seseorang yang katanya mampu membawa angin sejuk di tengah hiruk pikuk bangsa ini dengan segala permasalahannya.
Tapi, jika kita reflesikan kondisi masyarakat kita sekarang ini, terutama kita dan saudara-saudara yang sesama muslim. Sejauh mana momen-momen tersebut mampu memberikan efek perubahan pada tataran knowledge (pengetahuan agama), attitude (akhlak) atau skill (ibadah ritual). Ayat Ayat Cinta, baik penulis novel, sutradara dan produser film serta aktor dan aktrisnya dengan kadar yang berbeda-beda menempatkan film ini sebagai kesempatam untuk sarana dakwah. Wallahu a’lam bi shawab. Sekali lagi saya salut dengan kerja mereka dan mungkin itu bisa terbayar dengan pendapatan, royalti atau apalah namanya. Sebuah keniscayaan. Lalu, setelah film selesai ditonton, apa yang didapatkan masyarakat? Hanya semata-mata tontonan, hiburan sesaat? Tontonan bukan tuntunan? Manakah yang paling berkesan dan dielu-elukan, para pemainnya (Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Melanie Putria, Zaskia Adya Mecca), sutradara (Hanung Bramantyo), produser (Manoj Punjaby/MD Pictures), penulis (Habiburrahman El Shirazy), atau penyanyi soundtrack-nya (Rossa).
Bagaimana dengan pesan moral/hikmah atau ajaran/tuntunan yang disampaikan? Apakah terlupakan dalam sekejap? Contohnya, apakah film tersebut mampu memberikan pencerahan betapa bangganya hidup dalam tuntunan agama Allah, bahwa Islam merupakan agama yang toleran bukan teroris, bahwa poligami itu juga ajaran Islam bukan dosa, bahwa Islam tidak mengenal pacaran tapi ta’aruf, bahwa pakaian lebar/jilbab bagi wanita muslim merupakan pembeda dan wajib hukumnya, betapa dalamnya makna cinta dan lain sebagainya. Kalau ini sampai terlupakan dan tidak memberikan efek yang sama luar biasanya dengan animo untuk menonton filmnya, maka barangkali film tersebut belum sesuai dengan kebutuhan mendasar untuk perubahan masyarakat/negara kita ke arah yang lebih baik dan benar. Atau mungkin metode-metode yang populer itu, seperti halnya juga yang dilakukan Aa Gym, belum cukup untuk melakukan sebuah revolusi akhlak bagi masyarakat kita. Hanya waktu yang bisa menjawab...!
By : Binsan Siregar (Cinere, Maret 2008)